Jakarta - Durasi masa kampanye untuk Pemilu 2024 masih menjadi perdebatan antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, panjang atau pendeknya masa kampanye pemilu bukan satu-satunya faktor yang dapat memicu konflik di masyarakat.
"Masa kampanye bukan satu-satunya yang memicu konflik dalam pemilu. Jadi panjang atau pendeknya bukan satu-satunya faktor yang menentukan konflik keras atau tidak," kata Pramono dalam diskusi daring yang digelar Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Jumat (4/2/2022).
Konflik dalam pemilu bisa muncul karena beragam hal. Ia menyebutkan, antara lain, sistem pemilu, jumlah dan perilaku kandidat, serta integritas penyelenggara.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia melakukan Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Penetapan Jadwal Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024.
Dalam Raker itu, Mendagri mengatakan pemerintah sependapat terkait rencana pelaksanaan pemungutan suara pemilu untuk Pemilihan Presiden (Pilpres), DPR, DPRD, dan DPD yang jatuh pada 14 Februari 2024.
“Kami kira dari pemerintah sependapat tanggal 14 Februari,” kata Mendagri Tito, Senin (24/1/2022) lalu.
Disampaikan Tito, pemerintah berharap penetapan jadwal pemilu diambil berdasarkan prinsip efisiensi di tengah situasi pemulihan ekonomi dan kondisi keuangan negara, baik di level pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya efisiensi tersebut, akan berakibat pada anggaran dan tahapan kampanye.
Berkaca dari suskesnya pengalaman Pilkada Serentak 2020, Tito mengimbau untuk mengambil pelajaran positif yang bisa diterapkan pada Pemilu dan Pilkada tahun 2024.
Sebaliknya, pengalaman yang kurang bagus seperti panjangnya masa kampanye yang berakibat pada keterbelahan masyarakat perlu dikelola.